Semangat Kemerdekaan di Mading Sekolah: Kreativitas Tanpa Batas

Posted on

Halo guys! Kamu pasti gak mau ketinggalan cerita seru tentang Devina dan timnya yang baru saja menang besar dalam lomba mading kemerdekaan di sekolah kan? Di artikel ini, kita bakal membahas semua tentang sebuah momen menegangkan dan menyenangkan dari perjalanan mereka.

Mulai dari persiapan yang bikin deg-degan, kegembiraan saat menerima penghargaan, sampai perayaan spesial yang mempererat ikatan persahabatan mereka. Gak hanya tentang piala dan kemenangan, tapi juga tentang bagaimana mereka saling mendukung dan belajar bareng selama prosesnya. Jadi, siap-siap aja dibawa dalam cerita yang penuh warna, tawa, dan inspirasi ini!

 

Semangat Kemerdekaan di Mading Sekolah

Ide Kreatif untuk Mading Kemerdekaan

Langit sore yang berwarna jingga menambah semangat Devina saat ia berjalan pulang dari sekolah. Hari itu, sekolah baru saja mengumumkan lomba mading bertema kemerdekaan, dan Devina merasa jantungnya berdegup kencang sejak mendengar kabar tersebut. Otaknya segera dipenuhi berbagai ide, namun ia tahu ini bukan tugas yang bisa ia kerjakan sendirian.

Setibanya di rumah, Devina melempar tas sekolah ke sofa ruang tamu dan langsung mengeluarkan buku catatan kecilnya. Duduk di meja belajar di kamarnya yang penuh poster musisi kesukaannya, ia mulai mencoret-coret halaman kosong. Setiap kata yang ia tulis mengalir seiring dengan kegembiraan dan antusiasme yang semakin menggebu.

“Apa arti kemerdekaan bagi generasi kita?” tulis Devina sambil menggigit ujung pensil. Ia tahu, ide mading ini harus lebih dari sekadar kumpulan gambar dan tulisan. Ia ingin sesuatu yang interaktif, sesuatu yang bisa menyatukan teman-temannya untuk mengekspresikan apa arti kemerdekaan bagi mereka.

Keesokan harinya, Devina langsung berkumpul dengan gengnya di kantin sekolah. Dengan semangat membara, ia membagikan idenya kepada teman-temannya. Mereka mendengarkan dengan saksama, menyimak setiap detail dari rencana yang sudah ia susun.

“Kita nggak cuma bikin mading biasa, guys,” ujar Devina dengan mata berbinar. “Gimana kalau kita buat mading interaktif? Setiap siswa bisa ikut menyumbang ide, cerita, atau bahkan harapan mereka untuk Indonesia.”

Rani, yang terkenal sebagai sosok yang pintar dalam hal desain, tersenyum lebar. “Itu ide yang keren, Vin! Kita bisa bikin bagian untuk sticky notes, jadi siapa pun bisa nulis harapan mereka dan tempel di mading.”

“Dan kita bisa tambahin gambar-gambar pahlawan nasional juga. Biar lebih terasa semangat kemerdekaannya,” tambah Fira, yang paling jago menggambar di geng mereka.

Devina merasa senang dengan tanggapan positif dari teman-temannya. Ide mereka mulai mengalir deras seperti arus sungai yang tidak bisa dibendung lagi. Di tengah diskusi yang seru, mereka berdebat soal desain, memilih warna, dan menentukan tema-tema kecil yang akan mereka angkat dalam mading tersebut. Setiap orang memberikan kontribusi, setiap ide saling melengkapi, dan akhirnya, mereka memiliki visi yang jelas tentang apa yang ingin mereka buat.

Namun, tentu saja, perjuangan ini tidak mudah. Meskipun semangat mereka tinggi, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah masalah waktu. Lomba mading hanya tinggal seminggu lagi, dan mereka harus menyelesaikan semuanya tepat waktu, tanpa mengorbankan tugas-tugas sekolah yang semakin menumpuk.

“Gimana nih, Vin? Kita kan masih harus belajar buat ujian minggu depan,” keluh Nanda, yang selalu cemas tentang nilai akademisnya.

Devina menghela napas sejenak, tapi kemudian tersenyum. “Aku tahu ini bakal berat, tapi kita bisa kok atur waktu dengan baik. Kita kerja bareng-bareng, dan kalau perlu, kita bisa kumpul di rumahku sepulang sekolah buat nyelesain semuanya.”

Rencana itu disetujui, dan mereka mulai membagi tugas. Devina bertanggung jawab untuk mengoordinasikan semuanya, sementara Rani dan Fira akan fokus pada desain visual mading. Nanda akan membantu mengumpulkan informasi dan data sejarah kemerdekaan yang akan mereka tampilkan. Semua bekerja dengan semangat yang tinggi, karena mereka tahu, hasil akhir akan menjadi sesuatu yang istimewa.

Malam-malam panjang pun dihabiskan di rumah Devina. Kamarnya yang tadinya tertata rapi kini dipenuhi dengan kertas, gunting, dan cat warna. Namun, bukan kekacauan yang membuat Devina lelah, melainkan perjuangan untuk menyatukan semua ide dan membuatnya menjadi nyata.

Di tengah-tengah proses itu, ada saat-saat ketika mereka merasa ragu. Mampukah mereka menyelesaikannya tepat waktu? Apa yang akan dipikirkan oleh siswa lain tentang karya mereka? Namun, di setiap keraguan yang muncul, Devina selalu menjadi orang pertama yang mengingatkan teman-temannya akan tujuan mereka.

“Kita harus ingat, ini bukan soal menang atau kalah,” katanya suatu malam ketika mereka semua merasa lelah. “Ini tentang gimana kita bisa berkarya bareng-bareng dan mengekspresikan cinta kita buat Indonesia.”

Ucapan Devina berhasil mengembalikan semangat timnya. Dan akhirnya, setelah berhari-hari bekerja keras, mereka berhasil menyelesaikan mading tersebut. Di atas papan mading itu, tersemat tidak hanya sejarah dan perjuangan bangsa, tetapi juga harapan, mimpi, dan kreativitas yang lahir dari hati mereka sendiri.

Babak pertama perjuangan mereka selesai. Namun, di balik kegembiraan itu, Devina tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menanti di depan. Lomba sesungguhnya baru akan dimulai.

 

Kolaborasi Tim: Merancang Mading yang Unik

Pagi itu, Devina sudah berada di sekolah lebih awal dari biasanya. Hawa pagi masih segar, namun pikirannya sudah dipenuhi berbagai rencana untuk mading yang akan mereka buat. Setelah mengumpulkan berbagai ide, sekarang saatnya untuk mewujudkannya. Ia berdiri di depan papan mading kosong di lorong utama sekolah, menatapnya dengan penuh antusias.

“Ini tempatnya. Ini ruang kita untuk berkarya,” gumam Devina sambil menyilangkan tangan di dada. Ia bisa membayangkan bagaimana papan mading ini akan berubah menjadi sesuatu yang luar biasa, penuh dengan warna, gambar, dan pesan-pesan inspiratif.

Tak lama kemudian, teman-temannya mulai berdatangan. Rani datang dengan tas yang lebih besar dari biasanya, penuh dengan kertas warna-warni, cat air, dan beberapa potongan kain. Fira muncul sambil membawa kanvas kecil untuk dilukis, sementara Nanda membawa beberapa buku referensi sejarah yang tebal. Mereka semua siap untuk memulai perjuangan ini.

“Let’s do this, guys!” seru Devina sambil mengepalkan tangannya ke udara dan mengajak buat teman-temannya untuk semangat.

Mereka langsung membagi tugas. Devina bertanggung jawab untuk mengoordinasikan keseluruhan proyek. Ia harus memastikan setiap elemen berjalan dengan baik dan sesuai dengan konsep awal. Rani dan Fira, dengan kreativitas seni mereka, mulai menggambar dan mewarnai bagian visual mading. Nanda, yang ahli dalam menulis, mulai merangkai kata-kata yang akan mereka tampilkan.

Namun, meski semuanya tampak terencana dengan baik, tantangan mulai muncul saat mereka harus menyatukan semua ide tersebut. Rani dan Fira, meski sama-sama berbakat, punya gaya yang berbeda. Rani lebih suka gaya yang minimalis dan elegan, sementara Fira cenderung suka yang lebih penuh warna dan berani.

“Aku pikir kalau kita pakai warna pastel untuk background-nya, akan terlihat lebih lembut dan elegan,” kata Rani sambil mengoleskan cat warna biru muda ke kertas besar yang akan menjadi latar belakang mading.

“Tapi aku merasa warna-warna cerah lebih mencerminkan semangat kemerdekaan,” balas Fira yang sedang memegang kuas dengan cat merah menyala. “Kita harus bikin ini lebih hidup lagi dan bisa menarik perhatian orang.”

Devina menyadari bahwa mereka perlu kompromi agar semuanya bisa berjalan lancar. “Gimana kalau kita gabungin aja? Bagian atas kita buat lebih lembut, dan bagian bawah kita pakai warna cerah. Jadi ada transisi yang halus tapi tetap dinamis,” usulnya sambil tersenyum.

Kedua temannya saling berpandangan sejenak, lalu mengangguk setuju. Dengan semangat yang baru, mereka mulai mencampur warna-warna itu, menciptakan perpaduan yang harmonis antara lembutnya biru pastel dan beraninya merah cerah. Hasilnya luar biasa! Bahkan Devina merasa bangga melihat bagaimana mading mereka mulai terbentuk.

Namun, di tengah kesibukan mereka, muncul tantangan lain. Waktu. Hari-hari berlalu begitu cepat, dan semakin mendekati hari perlombaan, mereka mulai merasa cemas apakah semuanya bisa selesai tepat waktu.

“Vin, ini baru separuhnya, dan kita tinggal punya dua hari lagi,” ujar Nanda dengan nada khawatir, sambil memandangi papan mading yang masih belum sepenuhnya terisi.

Devina merasakan tekanan yang sama, tetapi ia berusaha tetap tenang di depan teman-temannya. “Kita harus fokus, Nanda. Kita bisa atur ini. Kalau perlu, kita lembur sampai selesai.”

Akhirnya, mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Devina setelah sekolah, menyelesaikan apa yang belum selesai. Malam itu, kamarnya berubah menjadi studio dadakan. Mereka bekerja tanpa henti, memotong kertas, menempelkan gambar, dan menulis teks dengan tangan gemetar karena kelelahan. Tapi di balik kelelahan itu, ada rasa kebersamaan yang menguatkan mereka. Setiap senyum, tawa, dan canda yang mereka bagikan membuat perjuangan ini terasa lebih ringan.

Di sela-sela pekerjaan mereka, Devina sempat termenung. Ini bukan sekadar lomba mading lagi bagi mereka. Ini tentang persahabatan, tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Ia merasa terharu melihat betapa semua temannya begitu berdedikasi untuk proyek ini, meski mereka harus mengorbankan waktu istirahat dan kesenangan pribadi.

Ketika matahari mulai terbit, akhirnya mading mereka hampir selesai. Mata-mata mereka lelah, tapi senyum kebanggaan terpancar dari wajah masing-masing. Devina menatap hasil kerja keras mereka dengan perasaan haru.

“Kita berhasil, guys,” ucapnya pelan, namun penuh kebanggaan. “Kita berhasil menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar mading. Ini karya kita, dari hati kita.”

Teman-temannya mengangguk setuju. Mereka semua tahu bahwa apa pun hasilnya nanti, mereka sudah memberikan yang terbaik. Perjuangan ini telah mengajarkan mereka banyak hal tentang kerja keras, tentang bagaimana menyatukan perbedaan, dan tentang kekuatan persahabatan.

Esok harinya, mereka dengan penuh semangat memasang mading itu di papan utama sekolah. Semua orang yang lewat berhenti sejenak untuk melihat dan membaca. Komentar-komentar positif mulai bermunculan, dan senyuman puas terukir di wajah Devina dan teman-temannya.

Perjalanan mereka belum selesai, tapi mereka sudah merasa seperti pemenang. Bukan karena hadiah, tapi karena mereka telah berhasil mencapai sesuatu yang lebih berharga: kebersamaan dan semangat juang yang tidak pernah padam.

 

Hari Perlombaan: Mading Interaktif yang Menginspirasi

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Matahari pagi bersinar cerah, seolah ikut merayakan hari perlombaan mading yang telah lama dinanti-nanti. Devina dan teman-temannya sudah berada di sekolah lebih awal, mempersiapkan segala sesuatu dengan cermat. Papan mading mereka yang berwarna-warni dan penuh kreativitas kini bersandar di ruang pameran utama sekolah, siap untuk dinilai.

Devina berdiri di samping mading, memandang karya mereka dengan campur aduk perasaan. Ada rasa bangga yang mendalam, namun juga kegelisahan. “Apakah semuanya sudah siap?” tanya Devina kepada teman-temannya, sambil menyusuri setiap sudut mading, memastikan semuanya tertempel dengan baik.

“Semua sudah siap, Vin. Kita cuma perlu menunggu,” jawab Rani sambil memeriksa catatan yang sudah mereka siapkan untuk menjelaskan konsep mading kepada pengunjung.

Saat para siswa mulai berdatangan ke ruang pameran, Devina dan timnya mengamati dari kejauhan, dengan jantung yang berdegup kencang. Mereka berusaha tidak terlalu menonjol, memberi kesempatan kepada pengunjung untuk melihat dan mengevaluasi mading tanpa merasa tertekan.

Fira, dengan semangatnya yang tidak pernah padam, memperkenalkan mading mereka kepada teman-teman sekelas. “Di sini, kita punya bagian yang memperlihatkan sejarah kemerdekaan. Dan ini, bagian interaktif di mana kalian bisa menulis harapan dan mimpi kalian untuk Indonesia.”

Melihat reaksi teman-teman dan siswa lain yang terpesona oleh hasil kerja keras mereka, Devina merasa sedikit lega. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Ketika waktu berlalu, beberapa pengunjung terlihat lebih tertarik pada mading lain yang juga dipamerkan. Rasa cemas mulai menggelayuti Devina dan teman-temannya. Apakah mading mereka cukup menarik?

Ketika jam menunjukkan pukul dua siang, juri mulai berkeliling menilai setiap mading. Devina merasa jantungnya semakin berdebar. Mereka semua mengumpulkan diri di dekat mading mereka, berusaha untuk tetap tenang meski dalam hati, mereka sangat cemas.

Seorang juri, yang merupakan guru seni sekolah, menghampiri mading mereka. “Saya suka sekali dengan konsep interaktif ini,” ujarnya sambil membaca pesan-pesan yang ditempel di bagian sticky notes. “Ini memberikan kesempatan bagi setiap siswa untuk terlibat dan berpartisipasi.”

Mendengar pujian tersebut, Devina merasa sedikit lebih tenang. Namun, masih ada rasa khawatir yang menyelimuti. Ia tahu bahwa ada banyak mading lain yang juga memiliki keunikan tersendiri.

Sementara juri melanjutkan penilaian, Devina dan teman-temannya memutuskan untuk berkeliling dan melihat mading-mading lain. Mereka melihat berbagai ide kreatif dan inovatif, dan meski itu membuat mereka merasa sedikit terintimidasi, mereka juga merasa terinspirasi.

Jam menunjukkan pukul tiga sore ketika juri selesai melakukan penilaian. Devina dan teman-temannya kembali ke ruang pameran dengan hati yang berdebar-debar, menunggu pengumuman hasil. Mereka berkumpul di dekat mading mereka, saling menggenggam tangan, dan saling memberikan dorongan semangat.

Akhirnya, pengumuman dimulai. Satu per satu mading diumumkan, mulai dari yang mendapatkan penghargaan kategori kreatifitas, hingga kategori terbaik secara keseluruhan. Ketegangan di udara semakin terasa saat nama-nama diumumkan.

“Dan juara pertama untuk lomba mading tahun ini adalah… mading dengan tema Semangat Kemerdekaan dari Devina dan tim!” Suara pengumuman menggema di seluruh ruang pameran.

Hampir tidak percaya, Devina dan teman-temannya melompat dengan sorak-sorai kegembiraan. Mereka berlari menuju panggung, menerima penghargaan dengan tangan bergetar dan senyum lebar di wajah. Devina merasa matanya berkaca-kaca. Semua kerja keras dan perjuangan mereka selama ini akhirnya membuahkan hasil.

“Terima kasih banyak, teman-teman!” ucap Devina dengan suara bergetar, ketika menerima penghargaan dan menghadap kerumunan. “Ini semua berkat kerja keras kita bersama. Terima kasih sudah mendukung dan percaya.”

Teman-temannya mengelilinginya, memeluk dan memberi selamat. Rasa bangga dan kebahagiaan meluap dalam diri mereka. Setiap senyum, setiap tawa, dan setiap tepuk tangan terasa seperti puncak dari perjalanan panjang yang mereka lalui bersama.

Setelah acara selesai, mereka duduk bersama di kantin, menikmati kue dan minuman sambil membahas pengalaman mereka. Mereka bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi, momen-momen lucu selama proses pembuatan mading, dan bagaimana mereka merasa bahwa semua itu sangat berharga.

“Meskipun kita lelah dan merasa tertekan, rasanya semua itu terbayar lunas,” kata Nanda dengan penuh rasa syukur. “Kita benar-benar berhasil!”

Devina mengangguk setuju. “Ya, dan ini hanya permulaan. Kita sudah menunjukkan bahwa kita bisa bekerja sama dan menciptakan sesuatu yang berarti. Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi orang lain juga.”

Hari itu, Devina dan teman-temannya pulang dengan hati penuh kebanggaan dan semangat baru. Mereka telah berhasil melalui perjuangan dan tantangan, dan mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak hanya tentang memenangkan lomba, tetapi tentang bagaimana mereka belajar dan tumbuh bersama sebagai tim.

Hari perlombaan telah berlalu, tapi kenangan dan pelajaran yang mereka dapatkan akan selalu mereka bawa. Mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka bisa menghadapi segala sesuatu dengan keberanian dan kebersamaan.

 

Momen Spesial: Mading Kemerdekaan yang Menginspirasi

Hari setelah perlombaan mading adalah hari yang cerah dan segar. Namun, di balik keceriaan cuaca, Devina dan teman-temannya masih merasakan kegembiraan yang meluap-luap setelah kemenangan mereka. Piala dan sertifikat penghargaan yang mereka terima diletakkan di meja belajar Devina, dan setiap kali ia melihatnya, senyum bangga tak pernah lepas dari wajahnya.

Pagi itu, Devina memutuskan untuk mengundang teman-temannya berkumpul di rumahnya untuk merayakan kemenangan mereka. Rumah Devina penuh dengan aroma makanan yang menggugah selera ibunya telah menyiapkan berbagai hidangan lezat sebagai bentuk perayaan.

Saat teman-temannya tiba, mereka disambut dengan hangat. Suasana penuh dengan tawa dan canda. “Ayo, kita makan dulu!” seru Devina sambil mempersilakan mereka duduk di meja makan yang telah dipenuhi berbagai hidangan.

Setelah makan siang, mereka berkumpul di ruang tamu, duduk di karpet dengan bantal-bantal empuk. Devina duduk di tengah, dikelilingi oleh teman-temannya yang tampak begitu ceria. “Sebelum kita lanjut, aku mau bilang terima kasih buat kalian semua,” kata Devina dengan penuh rasa syukur. “Kita udah kerja keras dan penuh dengan berjuang bareng dan hasilnya benar-benar sangat luar biasa.”

“Dan kita juga harus berterima kasih kepada ibu Devina!” tambah Fira sambil tersenyum. “Makanan ini enak banget!”

Mereka semua tertawa, dan suasana menjadi semakin hangat. Namun, saat-saat ceria itu tidak menghilangkan rasa penat yang masih ada di tubuh mereka. Malam sebelumnya mereka tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu bersemangat, dan beberapa di antara mereka bahkan belum sepenuhnya pulih dari kelelahan setelah perlombaan.

Sementara mereka bercengkerama, Devina mendapatkan ide. “Gimana kalau kita bikin buku kenangan tentang pengalaman kita? Supaya kita bisa selalu ingat betapa serunya proses ini dan semua pelajaran yang kita dapatkan.”

Ide itu disambut dengan antusias. Mereka mulai mengumpulkan foto-foto dari proses pembuatan mading, catatan-catatan kecil tentang pengalaman mereka, dan berbagai cerita lucu serta menyentuh yang mereka alami selama persiapan. Setiap orang mulai menulis dan menggambar dengan penuh semangat, menciptakan sebuah buku kenangan yang akan mereka simpan selamanya.

Saat matahari mulai terbenam, dan suasana mulai tenang, Devina merasakan kehangatan dari persahabatan yang mereka bangun selama ini. “Kalian tahu,” katanya dengan lembut, “semua ini bukan hanya tentang memenangkan lomba atau mendapatkan penghargaan. Tapi lebih tentang bagaimana kita bisa saling mendukung dan bekerja sama. Aku merasa kita semua jadi lebih dekat.”

Semua teman-temannya mengangguk setuju. Nanda, yang biasanya lebih pendiam, menyahut, “Aku setuju. Dan aku juga belajar banyak tentang kerja sama dan ketekunan. Momen-momen ini sangat berarti bagi aku.”

Tiba-tiba, mereka mendengar suara ketukan di pintu depan. Devina membuka pintu dan mendapati ibunya berdiri di sana dengan dua kotak besar di tangannya. “Ada yang ingin ibu beri pada kalian semua,” kata ibunya dengan senyum hangat.

Devina dan teman-temannya penasaran. Ibunya meletakkan kotak-kotak tersebut di meja, dan ketika mereka membukanya, mereka menemukan berbagai hadiah kecil berupa buku catatan, pena berwarna-warni, dan bingkai foto. “Ini sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan untuk kerja keras kalian,” kata ibunya. “Semoga ini bisa mengingatkan kalian bahwa betapa berartinya dalam pencapaian ini.”

Kejutan itu membuat mereka semua tersentuh. Mereka mengucapkan terima kasih kepada ibu Devina dan kembali ke kegiatan mereka dengan hati yang penuh kebahagiaan. Mereka melanjutkan membuat buku kenangan, menambahkan sentuhan terakhir, dan saling membagikan kisah-kisah kecil yang belum mereka ceritakan sebelumnya.

Malam semakin larut, dan satu per satu mereka mulai pulang. Devina, yang terakhir kali meninggalkan ruang tamu, menatap rumahnya dengan penuh rasa syukur. Buku kenangan yang mereka buat menjadi simbol dari perjalanan mereka, sebuah kenangan yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka.

Ketika Devina berbaring di tempat tidurnya, ia merenungkan betapa berartinya pengalaman ini. Ia merasa bangga bukan hanya karena memenangkan lomba, tetapi karena berhasil membangun sesuatu yang lebih dari sekadar mading yaitu sebuah pengalaman yang mempererat persahabatan dan mengajarkan banyak hal tentang kerja keras dan kolaborasi.

Devina akhirnya tertidur dengan senyum di wajahnya, membayangkan bagaimana mereka akan terus berbagi momen-momen indah dan tantangan-tantangan baru di masa depan. Semua usaha dan perjuangan mereka terasa sangat berharga, dan ia tahu, apa pun yang akan mereka hadapi selanjutnya, mereka bisa melakukannya bersama.

Cerita ini menunjukkan bagaimana perjalanan mereka dalam membuat mading kemerdekaan bukan hanya tentang mencapai kemenangan, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung, belajar, dan tumbuh bersama sebagai tim. Perayaan mereka adalah perwujudan dari kebersamaan dan dedikasi yang telah mereka tunjukkan selama ini.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Nah, itu dia perjalanan seru Devina dan teman-temannya dalam lomba mading kemerdekaan yang penuh warna! Dari kerja keras hingga merayakan kemenangan, mereka menunjukkan betapa luar biasanya kekuatan persahabatan dan semangat kolaborasi. Semoga cerita ini bisa jadi inspirasi buat kamu semua untuk terus berjuang dan bekerja sama dengan penuh semangat. Jangan lupa untuk share artikel ini ke teman-teman kamu supaya mereka juga bisa merasakan serunya pengalaman Devina dan timnya. Sampai jumpa di cerita seru berikutnya!

Leave a Reply