Romansa Lavender dan Dylan: Kisah Cinta yang Terhubung oleh Benang Merah Takdir

Posted on

Siapa sih yang nggak kenal Lavender? Cewek paling hits di kampus dengan gaya hidup mewah ala lagu Seven Rings. Semua yang dia mau pasti dapet, kecuali satu hal—perhatian dari Dylan, cowok pendiam yang diam-diam bikin hatinya jungkir balik sejak SMA. Tapi di balik semua usilannya, ada benang merah takdir yang terus nyambungin mereka. Yuk, ikuti cerita romantis tapi dingin ini yang bakal bikin kamu baper abis!

 

Romansa Lavender dan Dylan

Bunga Lavender dan Mawar Berduri

Lavender berjalan dengan langkah yang anggun di koridor kampus yang selalu ramai. Semua mata tertuju padanya, bukan hanya karena penampilannya yang selalu on point, tapi juga karena dia memang gadis yang terkenal. Siapa sih yang nggak kenal Lavender? Cewek terpopuler, paling jenius, dan—nggak bisa dipungkiri—paling sombong di kampus ini. Dengan pakaian yang selalu branded dan senyumnya yang bikin orang salah tingkah, Lavender sudah terbiasa jadi pusat perhatian.

Hari ini nggak beda jauh. Lavender melangkah dengan percaya diri, tapi ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya—Dylan. Cowok pendiam dan dingin yang entah kenapa nggak pernah baper sama segala cara Lavender buat dapetin perhatiannya. Padahal, Lavender sudah mencoba segala cara yang dia tahu bisa bikin cowok-cowok lain klepek-klepek. Tapi Dylan? Ah, dia selalu datar, kayak es batu yang susah mencair.

Lavender berhenti sejenak, melihat Dylan dari kejauhan. Dylan sedang duduk di bangku taman kampus, asyik dengan buku di tangannya. “Cowok ini bener-bener kayak robot. Masa nggak ada rasa sama sekali?” gumam Lavender dalam hati. Tapi justru karena sikap dingin itu, Lavender semakin penasaran.

Dengan langkah cepat, Lavender mendekati Dylan. “Dylan! Lo lagi baca apa sih? Serius banget, kayak lagi ujian aja,” kata Lavender dengan nada yang dibuat ceria, berharap bisa memancing respon dari cowok itu.

Dylan melirik sebentar, lalu kembali fokus pada bukunya. “Gue baca novel,” jawabnya singkat, tanpa menoleh lagi ke arah Lavender.

Lavender mengerutkan alis. “Novel? Emang lo suka baca novel? Biasa kan lo baca buku-buku ilmiah yang bikin kepala gue puyeng.”

“Kenapa? Lo mau gue kasih rekomendasi?” Dylan menutup bukunya dan akhirnya menatap Lavender. Tatapannya dingin, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

Lavender tersenyum, merasa sedikit berhasil. “Mau dong! Tapi… Eh, gue lebih suka kalau lo yang cerita langsung, bukan kasih rekomendasi buku.”

Dylan hanya mengangguk pelan, lalu berdiri. “Gue harus ke kelas. Kalau lo mau tahu lebih banyak soal novel ini, baca aja sendiri. Tapi kayaknya nggak bakal menarik buat lo,” ucap Dylan sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.

Lavender menghela napas. Dylan ini selalu bikin penasaran. Bahkan setelah tiga tahun di kampus yang sama, Lavender masih belum bisa membuat Dylan memperlakukannya lebih dari sekadar teman kampus. Meski begitu, dia nggak menyerah. Buat Lavender, Dylan adalah tantangan yang harus ditaklukkan.

“Lo nggak capek, Van, ngejar Dylan terus?” Suara sahabatnya, Raina, membuyarkan lamunan Lavender. Raina selalu ada di sisi Lavender, meskipun kadang-kadang Lavender menganggap cewek itu terlalu realistis.

Lavender mengangkat bahu. “Gue? Capek? Nggak lah. Gue kan Lavender. Gue selalu dapetin apa yang gue mau.”

Raina tertawa kecil. “Iya, lo sih bisa dapetin apapun yang lo mau. Tapi Dylan beda, Van. Lo sadar kan?”

“Justru itu yang bikin gue makin tertarik. Lo tahu kan, gue nggak suka hal yang gampang. Dylan itu… unik. Gue suka sesuatu yang bisa bikin gue tertantang,” jawab Lavender dengan senyum penuh percaya diri.

Raina hanya menggelengkan kepala. “Terserah lo, Van. Tapi hati-hati aja, jangan sampai lo malah kena batunya.”

Lavender mengabaikan kata-kata Raina. Buat dia, ini bukan soal kena batu atau nggak. Ini soal menang atau kalah. Dan Lavender nggak pernah mau kalah.

Hari-hari berlalu, dan Lavender terus saja mencari cara buat mendekati Dylan. Dia nggak pernah kehabisan ide buat bikin Dylan mengakui keberadaannya lebih dari sekadar rekan satu kampus. Tapi Dylan selalu sama, dingin dan susah ditebak. Kadang-kadang Lavender berpikir, mungkin Dylan itu bukan manusia biasa. Tapi lebih kayak robot yang nggak punya perasaan.

Namun, ada satu hal yang Lavender nggak bisa pungkiri. Setiap kali dia dalam masalah, Dylan selalu ada di sana. Seperti ketika Lavender hampir terjebak dalam skandal yang dirancang oleh beberapa mahasiswa yang iri dengan popularitasnya. Dylan datang dan menyelamatkannya, seolah-olah dia tahu kapan Lavender benar-benar butuh bantuan.

“Kenapa lo selalu ada di saat gue dalam bahaya, Dylan?” Lavender bertanya suatu hari, setelah insiden tersebut. Mereka berdiri di bawah pohon besar di taman kampus, suasananya sepi dan tenang. Lavender memandang Dylan, berharap bisa menemukan jawaban di balik tatapan dingin itu.

Dylan menatap Lavender, tapi kali ini tatapannya sedikit lebih lembut. “Gue nggak tahu. Mungkin karena gue tahu lo butuh seseorang yang bisa lo andalkan. Lo bisa jaga diri lo sendiri, tapi kadang-kadang lo juga butuh bantuan.”

“Dan bantuan itu datangnya dari lo?” Lavender bertanya, setengah bercanda, setengah serius.

Dylan hanya tersenyum tipis. “Mungkin. Lo nggak usah mikirin terlalu dalam.”

Lavender tersenyum sendiri. Meskipun Dylan selalu dingin, ada momen-momen di mana Lavender bisa merasakan kehangatan di balik sikapnya yang tertutup. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka berdua. Sesuatu yang Lavender belum bisa pahami, tapi dia tahu itu ada.

“Dylan… Lo tau nggak? Gue nggak akan pernah nyerah buat bikin lo baper. Lo siap-siap aja,” ucap Lavender sambil berjalan mendahului Dylan.

Dylan hanya tertawa kecil, yang langka banget terdengar. “Gue tunggu, Van.”

Dan dengan itu, Lavender merasa bahwa meskipun Dylan susah ditebak, dia punya kesempatan. Karena sejauh apapun Dylan mencoba menjauh, Lavender yakin ada benang merah yang menghubungkan mereka berdua. Dan itu yang akan terus dia ikuti, sampai akhirnya Dylan mengerti perasaannya.

 

Es yang Mulai Mencair

Lavender duduk di kafe kampus, ditemani secangkir kopi yang hampir habis. Matanya menatap ke luar jendela, memperhatikan para mahasiswa yang lalu lalang. Pikirannya kembali ke Dylan. Cowok itu bener-bener bikin dia bingung. Kenapa sih, Dylan selalu muncul pas dia butuh bantuan, tapi tetap aja dingin dan susah didekati?

“Van, lo dengerin gue nggak sih?” suara Raina membuyarkan lamunannya. Lavender tersentak, menatap sahabatnya yang sedang menunggu jawaban.

“Oh, maaf, Rai. Tadi lo ngomong apa?”

Raina mendesah, menyeruput minuman dinginnya. “Gue tanya, lo mau ikut ke acara gathering malam ini atau nggak? Banyak senior yang bakal datang. Kesempatan lo buat networking, Van.”

Lavender mengangkat bahu. “Lo tau kan, gue nggak terlalu suka acara kayak gitu. Lagi pula, gue nggak terlalu butuh networking. Gue udah punya semua yang gue butuhin.”

Raina mengerutkan dahi. “Kecuali satu hal, ya? Dylan.”

Lavender tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi gue juga nggak yakin kalau Dylan bakal datang ke acara kayak gitu. Itu bukan gayanya.”

“Mungkin lo benar. Tapi lo nggak akan tau kalau nggak coba. Siapa tau dia datang, dan lo punya kesempatan lagi buat bikin dia baper,” goda Raina sambil tersenyum lebar.

Lavender menimbang sebentar. Memang benar, Dylan biasanya nggak suka acara sosial macam itu. Tapi kali ini, dia merasa ada yang berbeda. Mungkin karena akhir-akhir ini Lavender mulai melihat perubahan kecil pada Dylan. Bukan hal besar, tapi cukup buat bikin Lavender penasaran.

“Fine, gue ikut,” akhirnya Lavender setuju. “Tapi kalau ternyata Dylan nggak datang, lo traktir gue es krim.”

Raina tertawa. “Oke, deal! Tapi kalau Dylan datang, lo harus traktir gue.”

Malam itu, Lavender berdiri di depan cermin kamarnya, memilih pakaian yang paling pas untuk acara gathering. “Gue harus terlihat sempurna malam ini,” gumamnya pada diri sendiri. Setelah mencoba beberapa pilihan, akhirnya dia memutuskan mengenakan dress hitam sederhana tapi elegan, dengan aksesori yang pas untuk menambah kesan glamor.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Lavender menuju ke tempat acara. Gedung kampus yang biasanya sepi di malam hari kini penuh dengan lampu-lampu hias dan suara musik yang mengalun lembut. Lavender masuk dengan percaya diri, mencari-cari sosok Dylan di antara kerumunan.

Satu jam berlalu, dan Dylan belum juga terlihat. Lavender mulai merasa jenuh, tapi dia tetap menjaga penampilannya. Raina, yang sibuk mengobrol dengan beberapa senior, melirik ke arah Lavender dan mengangkat alis. Lavender hanya mengangkat bahu sebagai balasan, tanda bahwa dia masih belum menemukan apa yang dia cari.

Lalu, tepat ketika Lavender mulai berpikir untuk pulang, Dylan muncul. Dia masuk dengan cara yang sederhana, tanpa basa-basi atau perhatian lebih. Hanya mengenakan kemeja putih dengan celana jeans gelap, Dylan terlihat berbeda dari cowok lain di acara itu. Lavender bisa merasakan jantungnya berdebar lebih cepat saat melihat Dylan berjalan masuk, matanya langsung menangkap sosok yang dia kenal.

Lavender menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia berjalan mendekati Dylan dengan langkah santai, seolah-olah kebetulan bertemu.

“Dylan! Gue nggak nyangka lo bakal datang,” sapa Lavender dengan senyum yang dibuat sesantai mungkin.

Dylan menoleh, matanya sedikit melebar saat melihat Lavender. “Lavender. Gue juga nggak nyangka lo di sini.”

Lavender tertawa kecil. “Kenapa? Gue kan juga mahasiswa di sini.”

“Ya, tapi gue tau lo nggak terlalu suka acara kayak gini,” balas Dylan sambil mengamati Lavender dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Tapi lo kelihatan… beda malam ini.”

Lavender merasa pipinya memerah sedikit, tapi dia tetap mempertahankan senyumnya. “Beda gimana? Positif atau negatif?”

Dylan mengangguk pelan. “Positif. Lo kelihatan… lebih dewasa.”

Komentar itu, meskipun singkat, berhasil membuat Lavender merasa sedikit tersanjung. Dia tidak menyangka Dylan akan memperhatikan hal-hal kecil seperti itu.

“Makasih,” jawab Lavender sambil menatap Dylan lebih dalam. “Tapi lo juga kelihatan beda. Biasanya lo nggak terlalu suka acara sosial.”

Dylan mengangkat bahu. “Kadang-kadang gue butuh suasana yang beda. Lagipula, gue nggak mau terus-terusan jadi orang yang ngebosenin.”

Lavender tertawa pelan. “Lo nggak pernah ngebosenin, Dylan. Lo cuma… unik.”

Dylan tersenyum, senyum yang jarang sekali Lavender lihat. “Gue harus berterima kasih atau gimana tuh?”

“Lo nggak perlu berterima kasih,” balas Lavender. “Cukup dengan lo ada di sini malam ini aja udah cukup buat gue.”

Mereka berdiri berdua dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen yang jarang terjadi. Lavender merasa bahwa es yang selama ini membungkus Dylan mulai mencair, meskipun perlahan. Mungkin, hanya mungkin, usahanya selama ini mulai membuahkan hasil.

Tapi sebelum Lavender bisa mengatakan sesuatu lagi, seorang senior mendekat dan mengajak Dylan berbicara. Lavender hanya bisa menatap Dylan yang perlahan menjauh, kembali ke dunia dinginnya.

Raina tiba-tiba muncul di samping Lavender, tersenyum lebar. “Gue liat lo berhasil dapetin perhatiannya.”

Lavender menghela napas, tapi tetap tersenyum. “Iya, tapi Dylan tetap Dylan. Dia selalu ada cara buat bikin gue penasaran lagi.”

Raina tertawa pelan. “Mungkin itu justru yang bikin lo nggak bisa lepas dari dia.”

Malam itu, Lavender pulang dengan perasaan campur aduk. Dylan memang sempat memberikan perhatian yang dia cari, tapi masih ada sesuatu yang menghalangi mereka. Sesuatu yang membuat Lavender semakin ingin memahami Dylan lebih dalam.

Dan dia berjanji pada dirinya sendiri, dia nggak akan menyerah sampai es itu benar-benar mencair.

 

Mimpi dan Realita

Pagi itu, Lavender terbangun dengan perasaan yang masih berkecamuk. Dia masih memikirkan pertemuannya dengan Dylan tadi malam. Meskipun hanya sekejap, interaksi singkat mereka sudah cukup untuk membuat hati Lavender gelisah. Ia bertanya-tanya, apakah Dylan juga merasakan hal yang sama, atau semua hanya permainan di pikirannya saja?

Lavender duduk di tepi tempat tidurnya, memandang pantulan dirinya di cermin. Biasanya, dia selalu yakin dengan penampilannya—bahkan mungkin terlalu yakin. Tapi pagi ini, ada sedikit keraguan yang menggelayut di dalam hatinya. “Apa gue terlalu berlebihan?” gumamnya pelan pada diri sendiri.

Dia mengambil ponsel di meja samping tempat tidur dan membuka pesan dari Raina.

Raina: “Gimana, lo masih kebayang Dylan nggak? Gue yakin lo nggak bisa tidur nyenyak semalam, hahaha.”

Lavender tersenyum tipis dan membalas.

Lavender: “Yah, lo tau gue terlalu gampang ke-baper-an. Tapi gimana pun juga, Dylan tetep susah buat ditebak.”

Raina membalas dengan cepat.

Raina: “Santai, Van. Mungkin itu justru challenge-nya. Nggak seru kalau semuanya terlalu mudah, kan?”

Lavender menghela napas, mengakui bahwa Raina ada benarnya. Sebagian dari dirinya memang menikmati tantangan yang diberikan Dylan. Setiap ketidakpekaannya, setiap kebisuannya, membuat Lavender semakin penasaran. Tapi, sampai kapan dia bisa bertahan dengan semua ini?

Saat Lavender sibuk dengan pikirannya, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan dari Dylan muncul di layar.

Dylan: “Pagi, Lavender. Gue perlu bantuan lo buat sesuatu di kampus. Lo ada waktu nggak?”

Mata Lavender melebar. Dylan jarang, kalau bisa dibilang hampir tidak pernah, meminta bantuan. Rasa penasaran Lavender semakin memuncak.

Lavender: “Tentu aja. Lo mau gue bantuin apa?”

Dylan: “Gue jelasin nanti di kampus. Bisa ketemu di taman kampus jam 10?”

Lavender: “Bisa. Sampai nanti.”

Setelah mengirim pesan itu, Lavender segera bangkit dari tempat tidur, perasaannya bersemangat. Apa pun yang Dylan butuhkan, ini adalah kesempatan untuk menghabiskan waktu bersamanya.

Lavender tiba di taman kampus tepat waktu. Matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi meniup rambutnya. Dia melihat sekeliling, mencari sosok Dylan. Tak lama kemudian, dia melihat Dylan duduk di bangku taman, mengenakan jaket hitam yang membuatnya terlihat semakin misterius.

“Dylan!” panggil Lavender, melambai ke arahnya.

Dylan menoleh dan memberikan anggukan kecil. “Lo cepat juga.”

Lavender duduk di sebelahnya, berusaha menjaga suasana santai. “Gue nggak mau bikin lo nunggu lama. Jadi, ada apa nih? Gue bisa bantu apa?”

Dylan memandangnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Gue lagi ngerjain project akhir semester, dan gue butuh partner buat penelitian. Gue tau lo cukup sibuk, tapi gue nggak bisa mikir siapa lagi yang cocok buat bantuin gue selain lo.”

Lavender mengerutkan alis. “Gue? Seriusan, Dylan? Ada banyak orang yang lebih ahli di bidang ini daripada gue.”

Dylan menggeleng. “Bukan soal keahlian, tapi soal chemistry. Lo tau kan, kita udah kenal lama. Gue percaya sama lo, dan gue tau kita bisa kerja sama dengan baik.”

Lavender merasakan kehangatan di dadanya. Ini adalah salah satu momen di mana Dylan menunjukkan sisi lembutnya, meskipun sangat jarang. “Oke, gue bakal bantuin lo. Tapi lo harus janji nggak bakal nyuruh gue ngerjain semua sendirian.”

Dylan tersenyum kecil, senyum yang lagi-lagi membuat hati Lavender berdesir. “Gue janji. Kita bagi tugasnya rata.”

“Baiklah. Jadi, project apa yang lo kerjain?”

Dylan mulai menjelaskan detail project-nya, tentang penelitian sosial yang melibatkan interaksi antar mahasiswa di kampus. Lavender mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami setiap aspek yang Dylan jelaskan. Di satu sisi, dia menikmati pembicaraan serius ini karena bisa melihat sisi lain dari Dylan, sisi yang penuh dedikasi dan kecerdasan. Di sisi lain, Lavender menyadari bahwa inilah momen di mana dia bisa lebih dekat dengan Dylan, tanpa harus berpura-pura atau membuat drama.

Selama beberapa minggu berikutnya, Lavender dan Dylan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama untuk menyelesaikan project tersebut. Meskipun awalnya Lavender merasa gugup, lambat laun dia mulai merasa nyaman bekerja dengan Dylan. Setiap hari, mereka akan bertemu di perpustakaan atau kafe kampus, membahas data, merencanakan langkah-langkah berikutnya, atau sekadar mengobrol ringan saat istirahat.

Dan meskipun Dylan tetap dengan sikapnya yang dingin dan pendiam, Lavender mulai merasakan ada perubahan kecil dalam dinamika mereka. Dylan sekarang lebih sering tersenyum, lebih banyak berbicara, dan bahkan sesekali melontarkan candaan yang membuat Lavender tertawa. Lavender mulai melihat Dylan bukan hanya sebagai sosok yang misterius dan sulit ditebak, tapi juga sebagai teman yang bisa diandalkan dan memiliki sisi hangat yang tersembunyi.

Suatu hari, saat mereka sedang istirahat di taman kampus, Lavender tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Dylan, kenapa lo minta gue buat jadi partner lo? Maksud gue, lo kan bisa minta orang lain yang lebih ahli atau lebih berpengalaman.”

Dylan menatapnya, matanya tenang tapi dalam. “Karena lo adalah Lavender. Orang yang gue tau nggak akan menyerah sampai selesai. Gue butuh partner yang bukan cuma pintar, tapi juga gigih. Dan lo punya itu.”

Lavender terdiam sejenak, meresapi kata-kata Dylan. Selama ini, dia selalu mengira Dylan hanya melihatnya sebagai gadis manja yang suka cari perhatian. Tapi ternyata, Dylan melihat sisi lain dari dirinya, sisi yang jarang diperhatikan oleh orang lain.

“Thanks, Dylan,” jawab Lavender pelan, tapi tulus. “Gue juga seneng bisa kerja sama sama lo.”

Dylan hanya mengangguk, kembali ke pekerjaannya. Tapi senyum kecil di wajahnya memberi tahu Lavender bahwa ucapan terima kasihnya diterima dengan baik.

Semakin hari, Lavender merasa hubungannya dengan Dylan semakin berkembang. Meskipun masih ada jarak di antara mereka, Lavender yakin bahwa jarak itu perlahan tapi pasti mulai menghilang. Dan meskipun perjalanan mereka masih panjang, Lavender merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin saja akan mengubah hidup mereka berdua.

 

Benang Merah di Antara Kita

Waktu berlalu dengan cepat. Project yang dikerjakan Lavender dan Dylan hampir selesai. Hari-hari mereka diisi dengan diskusi intens, penelitian, dan momen-momen kecil yang perlahan tapi pasti semakin mendekatkan mereka. Lavender tak pernah membayangkan bahwa bekerja sama dengan Dylan akan membawa begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Ia mulai menyadari bahwa hatinya tak lagi hanya dipenuhi oleh rasa penasaran, tapi juga oleh rasa yang lebih dalam—sesuatu yang tidak pernah ia duga akan tumbuh dari hubungan mereka yang unik.

Suatu malam, setelah menghabiskan beberapa jam di perpustakaan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Langit malam penuh dengan bintang, dan angin malam terasa sejuk di kulit mereka.

“Gue nggak nyangka kita bisa nyelesain project ini secepat ini,” kata Lavender sambil tersenyum, merasa bangga dengan hasil kerja keras mereka.

Dylan menatap ke depan, matanya menatap jauh ke arah bintang-bintang. “Gue juga. Tapi, gue rasa ini lebih dari sekadar project. Kita belajar banyak, nggak cuma soal penelitian, tapi juga soal diri kita sendiri.”

Lavender mengangguk. Dia tahu betul apa yang Dylan maksud. Selama ini, dia selalu melihat dirinya sebagai gadis yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tapi melalui Dylan, dia belajar untuk menghargai proses, kesabaran, dan kejujuran. Dia belajar bahwa tidak semua bisa didapatkan dengan cara yang mudah, dan kadang-kadang, yang paling berarti adalah yang paling sulit diraih.

Mereka berdua berhenti di bawah pohon besar di dekat taman kampus, tempat yang sering mereka datangi untuk beristirahat sejenak. Dylan menatap Lavender, matanya dalam dan penuh arti.

“Lavender,” Dylan memulai dengan suara lembut, “gue tau lo suka sama gue sejak SMA. Gue nggak buta, gue cuma… butuh waktu buat memahami perasaan gue sendiri.”

Lavender terdiam, jantungnya berdetak cepat. Kata-kata Dylan seakan membongkar seluruh benteng yang selama ini dia bangun untuk menutupi perasaannya. “Kenapa lo nggak pernah ngomong apa-apa?”

Dylan tersenyum tipis. “Karena gue juga bingung dengan perasaan gue. Gue tau lo selalu dapetin apa yang lo mau, tapi gue nggak mau jadi sesuatu yang lo anggap sebagai ‘prize’ atau ‘challenge’. Gue mau jadi seseorang yang lo beneran peduli, bukan cuma karena lo penasaran.”

Lavender tertegun. Dia tak menyangka Dylan bisa memahami dirinya sedalam itu. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Dylan tak peduli, tapi ternyata Dylan justru menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

“Gue nggak pernah anggap lo cuma sebagai challenge, Dylan,” Lavender berkata pelan. “Gue suka sama lo karena lo beda dari yang lain. Lo bikin gue merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar apa yang terlihat di permukaan. Lo bikin gue belajar banyak hal, termasuk bagaimana caranya jadi diri gue sendiri.”

Dylan menatapnya lebih dalam, dan Lavender merasakan hangatnya mata itu menembus hatinya. “Lavender, gue juga punya perasaan yang sama. Tapi gue cuma mau pastiin, kalo ini bukan cuma permainan buat lo. Gue mau kita serius.”

Lavender mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Gue serius, Dylan. Mungkin selama ini gue nggak pernah ngomong dengan jujur, tapi gue nggak pernah merasa sejujur ini dengan orang lain selain lo.”

Dylan mendekatkan dirinya ke Lavender, mengambil tangan Lavender dalam genggamannya. “Gue janji, gue akan selalu ada buat lo, kayak selama ini gue selalu ada meski lo nggak sadar. Dan gue harap, lo juga bakal ada buat gue.”

Lavender merasakan air mata jatuh di pipinya, tapi kali ini air mata itu adalah air mata kebahagiaan. “Gue janji, Dylan. Gue nggak akan ninggalin lo.”

Mereka berdiri di sana, di bawah langit malam yang penuh bintang, dengan tangan yang saling menggenggam. Rasanya seperti dunia berhenti berputar, hanya menyisakan mereka berdua dalam momen yang sempurna.

Dylan perlahan menarik Lavender ke dalam pelukannya. Ini adalah pertama kalinya mereka begitu dekat, begitu intim, dan Lavender merasa seperti akhirnya dia menemukan rumahnya—di dalam pelukan Dylan.

“Lavender,” bisik Dylan lembut di telinganya, “Gue rasa ini memang takdir. Benang merah itu, selalu menghubungkan kita, meski kita sering nggak sadar.”

Lavender tersenyum dalam pelukan Dylan, hatinya penuh dengan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Gue juga percaya, Dylan. Akhirnya gue ngerti, kenapa lo selalu ada di saat gue butuh. Karena lo adalah takdir gue.”

Malam itu, di bawah bintang-bintang, Lavender dan Dylan menyadari bahwa mereka bukan hanya teman atau rekan kerja. Mereka adalah dua jiwa yang saling melengkapi, terikat oleh benang merah takdir yang tidak akan pernah putus. Dan meskipun perjalanan mereka baru saja dimulai, mereka siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang—bersama-sama, sebagai satu kesatuan.

 

Nah, akhirnya Lavender dan Dylan nyadar juga kalau mereka emang ditakdirin buat bareng. Dari usil-usilan di SMA sampai jadi partner yang nggak terpisahkan, semua perjalanan mereka terikat sama benang merah yang nggak kelihatan tapi kuat banget.

Jadi, kalau kamu merasa ada seseorang yang selalu ada buat kamu, mungkin itu juga takdir kamu. Siapa tahu, kamu lagi nungguin momen kayak Lavender dan Dylan. Love is in the air, guys!

Leave a Reply