Ayah, Mengapa Kau Pergi? Kisah Perjalanan Mencari Jawaban

Posted on

Kamu pernah nggak sih mikir, kenapa sih orang yang kita sayang bisa tiba-tiba pergi? Di cerpen ini, Aira lagi berjuang buat nemuin jawaban tentang kepergian ayahnya yang mendadak. Ayah, Mengapa Kau Pergi? bakal bikin kamu ikut merasakan setiap emosi Aira, dari bingung sampai terharu. Siap-siap aja baper dan nyelam dalam kisah yang penuh rahasia dan perasaan mendalam ini!

 

Ayah, Mengapa Kau Pergi?

Kenangan yang Tersisa

Hujan deras mengguyur kota kecil itu. Di luar, langit kelabu bergumul dengan awan yang penuh, seperti ingin menumpahkan segala kepedihan ke bumi. Di dalam rumah yang sudah lama tidak terpakai, suasana terasa sunyi. Aira duduk di meja kayu tua, dikelilingi oleh tumpukan foto dan barang-barang lama milik ayahnya. Ruangan itu berbau debu dan kenangan.

Aira, seorang gadis berusia 17 tahun dengan rambut panjang yang berantakan, menghela napas panjang. Matanya yang lelah menatap foto-foto lama yang tersebar di atas meja. Di tangan kanannya, dia memegang sebuah bingkai kecil yang berisi foto ayahnya—Prabu, dengan senyum hangatnya yang selalu bisa membuat Aira merasa tenang. Namun, sekarang senyum itu terasa begitu jauh.

“Kenapa sih, Ayah? Kenapa Ayah harus pergi?” gumam Aira, matanya berkaca-kaca. Selama beberapa bulan terakhir, sejak kepergian mendadak ayahnya, hidupnya terasa seperti berputar dalam lingkaran tanpa henti. Rasanya seperti ada lubang besar yang menganga di hatinya, dan tidak ada yang bisa mengisinya.

Aira menatap sekeliling ruangan. Dinding-dindingnya penuh dengan foto-foto keluarga, lukisan kecil yang dibuat ayahnya, dan beberapa barang antik yang menjadi hobi ayahnya. Setiap benda memiliki ceritanya sendiri, namun kali ini, benda-benda itu terasa seperti saksi bisu dari sebuah cerita yang belum sepenuhnya terungkap.

Dia mulai membolak-balik tumpukan foto, mencari sesuatu yang bisa memberi petunjuk tentang mengapa ayahnya harus pergi begitu tiba-tiba. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah kotak kayu kecil di pojok rak. Kotak itu tertutup rapat dan berdebu, tampaknya sudah lama tidak tersentuh.

Dengan hati-hati, Aira membuka kotak itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah buku harian yang terbungkus kain tua, beberapa surat, dan beberapa foto yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Jantungnya berdebar-debar. Ini mungkin adalah kunci untuk mengungkapkan semua misteri yang selama ini menghantuinya.

Dia menarik napas dalam-dalam dan mulai membuka buku harian itu. Halaman-halaman buku itu dipenuhi dengan tulisan tangan ayahnya yang rapi. Setiap kalimat seperti menghidupkan kembali suara ayahnya di telinganya. Aira membaca satu demi satu, mencoba meresapi setiap kata.

“Aira sayang,” tulis ayahnya dalam sebuah entri. “Hari ini Ayah memikirkan betapa bahagianya Ayah memiliki kalian berdua—kamu dan ibumu. Meskipun hidup ini tidak selalu mudah, kalian berdua adalah alasan aku terus berjuang.”

Aira membaca lebih lanjut, semakin dalam tenggelam dalam tulisan-tulisan itu. Dia menemukan catatan tentang berbagai momen penting dalam hidup ayahnya—momen bahagia, tetapi juga momen-momen ketika ayahnya merasa kesulitan. Ada satu bagian yang membuatnya terhenti sejenak. Ayahnya menulis tentang penyakit yang dia derita, sesuatu yang selama ini tidak pernah Aira ketahui.

Aira merasakan campuran emosi yang rumit. Ada rasa marah, kesedihan, dan kebingungan. Kenapa ayahnya tidak pernah memberitahunya tentang penyakit itu? Kenapa dia harus pergi tanpa meninggalkan penjelasan yang jelas?

Dia memutuskan untuk melihat surat-surat lain yang ada di kotak. Salah satu surat tampaknya ditujukan untuk Aira secara khusus. Dengan tangan bergetar, Aira membuka amplopnya dan mulai membaca surat itu.

“Anakku tersayang,” bunyi surat itu. “Jika kamu membaca surat ini, berarti Ayah sudah tidak ada di sini lagi. Ayah ingin kau tahu bahwa kepergianku bukanlah karena Ayah tidak mencintaimu. Ayah pergi karena Ayah tidak bisa lagi melawan rasa sakit ini. Ayah berharap kau bisa memaafkan Ayah dan melanjutkan hidupmu dengan bahagia.”

Aira menutup surat itu dan meletakkannya di sampingnya. Dia merasa seperti baru saja ditampar keras oleh kenyataan. Selama ini dia menyimpan rasa sakit dan kemarahan tanpa benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Dia melihat foto-foto yang ada di dalam kotak—foto-foto lama keluarga, foto-foto ayahnya saat muda, dan beberapa gambar yang tampaknya menggambarkan momen-momen penting dalam hidup ayahnya. Setiap foto menyampaikan sebuah cerita, dan Aira merasa seperti dia baru mulai mengumpulkan potongan-potongan dari teka-teki yang hilang.

Dengan hati yang penuh campur aduk, Aira merapikan barang-barang itu dan menyimpan kotak kayu kecil kembali ke tempatnya. Meskipun rasa sakit dan kesedihan masih menyelimuti hatinya, dia merasa sedikit lebih dekat untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Dia memandang foto ayahnya satu kali lagi, lalu keluar dari ruangan dengan langkah berat. Hujan masih turun di luar, namun bagi Aira, hari itu terasa seperti awal dari sebuah perjalanan untuk menemukan jawaban yang selama ini dia cari.

 

Menelusuri Jejak

Aira tidak bisa tidur malam itu. Hujan masih turun dengan deras, dan suara rintik-rintik di atap rumahnya seolah menjadi latar musik untuk pikirannya yang penuh kekacauan. Tidur tidak datang, jadi dia memilih untuk duduk di meja yang sama, menghadap buku harian ayahnya yang kini tampak seperti jendela menuju masa lalu.

Ketika fajar mulai memecahkan kegelapan malam, Aira masih terjaga, mata merah dan lelah. Dia memutuskan untuk melanjutkan membaca buku harian ayahnya, berharap menemukan lebih banyak petunjuk yang bisa membantunya memahami kenapa ayahnya harus pergi begitu mendadak.

Dia membuka halaman berikutnya dengan hati-hati, berusaha mencerna setiap kata. Di salah satu entri, ayahnya menulis tentang impian dan rencana-rencana kecil untuk masa depan—rencana-rencana yang tampaknya tidak mungkin diwujudkan lagi.

“Kadang aku merasa sangat tertekan,” tulisnya. “Ada hari-hari ketika aku berpikir tentang apa yang akan terjadi jika aku tidak lagi ada di sini. Tapi aku selalu berusaha untuk tetap positif dan berdoa agar segala sesuatunya akan baik-baik saja.”

Membaca kalimat-kalimat ini, Aira merasa hatinya semakin berat. Ayahnya tidak hanya pergi, tetapi dia juga tampaknya berjuang sendirian dengan segala rasa sakit dan ketidakpastian. Rasa marah dan sedih yang telah dia rasakan mulai berubah menjadi rasa empati.

Namun, perasaan itu tidak menghilangkan keinginannya untuk memahami lebih dalam. Dia melanjutkan membaca dan menemukan entri tentang sebuah tempat yang sering dikunjungi ayahnya—sebuah rumah tua di pinggiran kota yang tampaknya memiliki arti khusus bagi ayahnya. Tertulis di sana bahwa ayahnya sering pergi ke sana untuk “berpikir dan mencari kedamaian.”

Tanpa pikir panjang, Aira memutuskan untuk mengunjungi rumah tua tersebut. Meskipun dia belum tahu apa yang akan ditemukan di sana, dia merasa harus melakukannya untuk merasakan apa yang dirasakan ayahnya dan mencari lebih banyak jawaban.

Setelah sarapan pagi yang cepat, Aira pergi keluar dengan payung di tangan, melawan hujan yang belum berhenti. Dia menyusuri jalanan kota yang basah, menuju lokasi yang tertulis di catatan ayahnya. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, di area yang sepertinya sudah lama ditinggalkan.

Ketika dia sampai di depan rumah tua tersebut, Aira berhenti sejenak untuk mengamati bangunan yang tampaknya sudah usang. Dinding-dindingnya terkelupas, dan atapnya tampak bocor di beberapa tempat. Meski begitu, rumah itu memiliki pesona nostalgia yang menarik, seperti menyimpan banyak cerita dalam dirinya.

Aira meraih gagang pintu dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu tidak terlalu terkunci, dan dia berhasil masuk ke dalam rumah. Di dalam, suasananya sangat sepi, dengan bau lembap dan debu yang menyambutnya. Langkah-langkahnya terdengar bergema di ruangan kosong yang penuh dengan barang-barang lama.

Dia melangkah pelan-pelan, menjelajahi ruangan demi ruangan. Di ruang tamu, dia menemukan beberapa perabotan yang tampak sangat tua, sepertinya tidak terpakai selama bertahun-tahun. Di sudut ruangan, ada sebuah meja kecil dengan beberapa buku dan kertas yang tampaknya ditinggalkan.

Aira mendekati meja itu dan mulai memeriksa isi-isinya. Ada sebuah kotak kecil di atas meja, mirip dengan kotak yang ditemukan di rumahnya, hanya saja lebih sederhana. Dengan hati-hati, dia membuka kotak itu dan menemukan beberapa catatan kecil, beberapa foto lama, dan satu surat yang tampaknya ditujukan untuk seseorang.

Dia membuka surat itu dengan gemetar. Tulisannya tampaknya sudah pudar, tetapi Aira bisa membaca sebagian besar kata-katanya. Surat itu berisi pesan tentang kebanggaan dan harapan untuk masa depan. Terakhir, surat itu mencantumkan beberapa nama dan alamat, termasuk alamat rumah mereka yang dulu, yang membuat Aira bertanya-tanya tentang hubungan antara ayahnya dan orang-orang tersebut.

Dengan surat dan barang-barang yang ditemukan, Aira merasa seperti dia berada di tengah teka-teki besar yang harus dipecahkan. Dia memutuskan untuk kembali ke rumah dengan barang-barang yang ditemukan dan merenung lebih dalam tentang apa yang telah dia pelajari. Meskipun tidak semua jawaban sudah ditemukan, petunjuk-petunjuk kecil ini memberikan harapan bahwa ada lebih banyak hal yang bisa dipahami.

Sesampainya di rumah, Aira menaruh barang-barang tersebut di meja dan duduk termenung. Hujan masih turun dengan lembut di luar, dan dia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa sakit dan kehilangan. Mungkin, melalui perjalanan ini, dia akan menemukan cara untuk memahami dan mengatasi perasaannya, serta menghubungkan kembali dengan kenangan-kenangan indah bersama ayahnya.

Dia memandang foto ayahnya yang terletak di samping buku harian, lalu melanjutkan membaca surat dan catatan yang ditemukan. Dalam hati, dia berdoa agar perjalanan ini membawanya lebih dekat dengan jawaban yang dia cari—jawaban tentang mengapa ayahnya harus pergi dan apa yang sebenarnya dia rasakan.

 

Jejak yang Tertinggal

Aira terjaga pagi itu dengan perasaan campur aduk. Hujan yang terus-menerus mengguyur kota selama beberapa hari terakhir seolah mencerminkan suasana hatinya yang masih berkabut. Setelah menemukan surat dan barang-barang di rumah tua kemarin, dia merasa sedikit lebih dekat dengan memahami kepergian ayahnya, tetapi banyak pertanyaan masih mengambang di pikirannya.

Dia memutuskan untuk memulai hari dengan meneliti lebih lanjut barang-barang yang dia temukan di rumah tua. Aira duduk di meja dengan surat-surat dan catatan di depannya, berusaha mengurai informasi yang ada. Setiap kata dan gambar seolah memberi petunjuk baru, tetapi juga menambah rasa penasaran.

Salah satu catatan kecil yang ditemukan di kotak itu mencantumkan nama seorang pria bernama Bapak Haris. Nama itu juga ada di surat yang dia temukan, dan tampaknya Bapak Haris adalah salah satu orang yang penting bagi ayahnya. Di salah satu halaman buku harian ayahnya, terdapat catatan yang berbunyi:

“Bapak Haris adalah salah satu sahabat lamaku. Kami pernah bersama-sama menghadapi banyak hal, dan aku sangat menghargai nasihatnya. Aku harus menemuinya lagi sebelum semuanya terlambat.”

Aira merasa ini adalah petunjuk penting. Dia memutuskan untuk mencari tahu siapa Bapak Haris dan bagaimana hubungannya dengan ayahnya. Dengan sisa-sisa semangat dan tekad, Aira memulai pencariannya.

Dia pertama-tama memeriksa alamat yang tertulis di surat. Alamat itu mengarah ke sebuah rumah di pinggiran kota yang tidak jauh dari rumahnya. Aira memutuskan untuk pergi ke sana setelah sarapan, dengan harapan bisa menemukan Bapak Haris atau setidaknya mendapatkan informasi lebih lanjut.

Ketika tiba di alamat tersebut, Aira disambut oleh sebuah rumah kecil yang tampaknya sudah lama tidak ditempati. Pintu depan rumah itu tampak usang, dan halaman depannya penuh dengan rumput liar. Dengan hati-hati, Aira mengetuk pintu dan menunggu. Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban dan wajah yang ramah membuka pintu.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu dengan nada lembut.

“Selamat pagi, Pak. Nama saya Aira. Saya mencari Bapak Haris. Apakah beliau ada di sini?” tanya Aira, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Pria itu memandang Aira dengan penasaran. “Bapak Haris? Oh, dia sudah lama pindah dari sini. Kami terakhir kali bertemu beberapa tahun yang lalu. Namun, jika Anda mencari informasi tentangnya, mungkin saya bisa membantu. Namaku Bapak Rudi, tetangga lama Bapak Haris.”

Aira merasa sedikit lega karena setidaknya dia bisa mendapatkan informasi lebih lanjut. Bapak Rudi mengundangnya masuk dan mereka mulai berbicara tentang Bapak Haris. Ternyata, Bapak Haris adalah seorang teman lama ayahnya, dan mereka sering bertemu untuk berdiskusi tentang berbagai hal—termasuk masalah pribadi yang mungkin tidak pernah diungkapkan kepada orang lain.

Bapak Rudi memberitahu Aira bahwa Bapak Haris pindah ke sebuah kota kecil di luar kota beberapa tahun yang lalu, dan dia mungkin bisa ditemukan di sana. “Jika Anda ingin mencari Bapak Haris, kota itu tidak terlalu jauh dari sini. Anda bisa mencarinya di alamat ini,” ujar Bapak Rudi sambil menyerahkan selembar kertas dengan alamat baru.

Aira mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudi dan pergi dengan alamat di tangannya. Meskipun dia merasa lelah, rasa semangat dan keinginan untuk menemukan jawaban membuatnya tetap bergerak maju.

Setelah beberapa jam perjalanan dengan menggunakan bus, Aira tiba di kota kecil yang disebutkan oleh Bapak Rudi. Kota itu tampak damai, dengan rumah-rumah kecil dan jalan-jalan yang tenang. Dia mencari alamat yang diberikan dan akhirnya tiba di sebuah rumah yang terletak di pinggiran kota.

Dia mengetuk pintu dan tidak lama kemudian, seorang pria tua dengan rambut putih dan mata yang tajam membuka pintu. “Selamat pagi, saya Aira. Apakah Anda Bapak Haris?” tanya Aira, mencoba terdengar percaya diri.

Bapak Haris memandangnya dengan penasaran. “Ya, saya Bapak Haris. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ini mungkin agak mendadak, tapi saya sedang mencari informasi tentang ayah saya, Prabu. Saya menemukan beberapa catatan yang menyebutkan nama Anda,” jelas Aira dengan hati-hati.

Wajah Bapak Haris berubah serius. Dia mempersilakan Aira masuk dan mereka duduk di ruang tamu yang sederhana. Aira mulai menjelaskan tentang bagaimana dia menemukan barang-barang ayahnya di rumah tua dan bagaimana dia mendapatkan alamat Bapak Haris.

Bapak Haris mendengarkan dengan seksama. Setelah beberapa saat, dia mulai bercerita. “Prabu adalah sahabat yang sangat saya hargai. Kami melalui banyak hal bersama—baik suka maupun duka. Dia selalu berusaha untuk kuat, bahkan ketika dia sendiri merasa lelah.”

Bapak Haris kemudian melanjutkan, “Dia memang menghadapi masalah kesehatan yang berat. Kami sering berbicara tentang bagaimana dia merasa tidak mampu lagi melawan, tetapi dia selalu berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya kepada orang lain.”

Aira mendengarkan dengan penuh perhatian. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sedikit pemahaman tentang perjuangan yang dihadapi ayahnya. Bapak Haris kemudian mengeluarkan beberapa barang yang pernah menjadi milik ayahnya—seperti surat-surat dan foto-foto lama yang dia simpan sebagai kenangan.

“Ini mungkin tidak banyak, tapi saya harap ini bisa membantu Anda,” kata Bapak Haris sambil menyerahkan barang-barang tersebut.

Aira menerima barang-barang itu dengan terharu. “Terima kasih banyak, Pak. Ini sangat berarti bagi saya.”

Saat Aira meninggalkan rumah Bapak Haris, dia merasa sedikit lebih tenang. Meskipun dia belum mendapatkan semua jawaban, dia merasa bahwa perjalanan ini telah membantunya untuk lebih memahami ayahnya dan mendapatkan kepingan-kepingan yang hilang dari teka-teki yang selama ini dia cari.

Malam itu, ketika Aira kembali ke rumahnya, dia merenung tentang semua yang telah dia pelajari. Dia merasa seperti perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun masih banyak yang harus diungkap, dia tahu bahwa dia tidak lagi sendirian dalam pencariannya.

 

Menyimpulkan Kebenaran

Hari-hari berlalu sejak Aira kembali dari kunjungannya ke Bapak Haris. Dia telah menghabiskan waktu memeriksa barang-barang dan surat-surat yang diberikan oleh Bapak Haris, mencari makna di balik setiap kata dan gambar. Setiap kali dia merasa semakin dekat dengan jawaban, dia juga merasa semakin banyak yang harus dipahami.

Suatu sore, Aira duduk di ruang kerjanya, mengelilingi dirinya dengan semua dokumen dan barang yang telah dia kumpulkan. Di tangan kanannya, dia memegang sebuah foto lama yang menampilkan ayahnya bersama beberapa orang teman, termasuk Bapak Haris. Di tangan kirinya, ada surat-surat yang menceritakan tentang perjuangan dan harapan ayahnya.

Dia mulai menyusun potongan-potongan informasi dan mencoba memahami gambaran utuhnya. Foto-foto itu memperlihatkan ayahnya yang tampak bahagia dan penuh semangat, berbeda dari sosok yang dia ingat di hari-hari terakhirnya. Aira menyadari bahwa ayahnya mungkin menyembunyikan banyak beban dari keluarganya untuk melindungi mereka.

Satu surat khusus menarik perhatian Aira. Surat itu adalah surat terakhir yang ditulis ayahnya, ditujukan untuknya. Setelah membacanya dengan seksama, Aira merasa seolah ayahnya berbicara langsung kepadanya, membagikan perasaan dan harapan terakhirnya.

“Anakku, Aira,” tulis ayahnya, “Jika kamu membaca surat ini, berarti Ayah sudah pergi dari dunia ini. Ayah ingin kamu tahu bahwa Ayah sangat mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Kepergian Ayah bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi Ayah ingin kamu tahu bahwa Ayah telah melakukan yang terbaik untukmu. Ayah berharap kamu bisa memaafkan semua kekurangan dan kesalahan yang Ayah buat. Ketahuilah bahwa Ayah selalu memikirkanmu dan ingin melihatmu bahagia.”

Membaca surat itu, Aira merasa campur aduk. Ada rasa lega karena akhirnya dia bisa mendengar suara ayahnya, tetapi juga rasa sakit karena mengetahui betapa beratnya beban yang dipikul ayahnya. Surat itu seolah memberi penutup untuk beberapa pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.

Aira memutuskan untuk melakukan hal terakhir yang ingin dia lakukan: mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi favorit ayahnya, seperti taman kota yang sering dia kunjungi untuk merenung dan berdoa. Dengan surat dan barang-barang yang dia kumpulkan, Aira pergi ke taman tersebut, berharap bisa merasakan kedekatan dengan ayahnya.

Ketika dia tiba di taman, dia merasa suasana di sekelilingnya memberikan ketenangan yang selama ini dia cari. Dia duduk di bangku yang sepertinya sering digunakan ayahnya untuk merenung. Di bawah pohon besar, dia merasa seolah ayahnya sedang duduk di sampingnya, membagikan kekuatan dan ketenangan.

Saat matahari mulai terbenam, Aira mengeluarkan surat terakhir dari ayahnya dan membaca kembali. Di sana, dia menemukan satu kalimat yang menguatkan tekadnya: “Jangan biarkan kesedihan menghalangi kamu untuk mencapai impianmu. Hidupmu penuh dengan kemungkinan, dan aku percaya kamu bisa menghadapinya dengan baik.”

Aira menyadari bahwa ayahnya mungkin tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Setiap kenangan dan setiap kata yang ditinggalkan adalah bagian dari dirinya yang akan selalu ada. Dengan penuh keyakinan, Aira berjanji untuk menghargai setiap momen dan menggunakan apa yang dia pelajari untuk melanjutkan hidup dengan penuh makna.

Sebelum meninggalkan taman, Aira mengambil sebuah foto ayahnya dari saku dan meletakkannya di bawah pohon yang sering digunakan ayahnya. Dia berdoa, mengungkapkan rasa syukur dan harapan untuk masa depan. Meskipun perasaannya masih campur aduk, dia merasa lebih siap untuk melanjutkan hidupnya dengan hati yang lebih ringan.

Sesampainya di rumah, Aira mulai merencanakan langkah selanjutnya dalam hidupnya. Dia bertekad untuk meneruskan warisan ayahnya dengan cara yang berarti, menjaga kenangan dan ajaran ayahnya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Dengan tekad yang baru, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Cerita tentang ayahnya akan terus hidup dalam hatinya, memberikan inspirasi dan kekuatan untuk terus melangkah. Aira merasa bahwa perjalanan ini, meskipun penuh dengan kesedihan dan keraguan, telah memberinya pemahaman yang mendalam tentang arti cinta dan pengorbanan.

Dan meskipun ayahnya sudah pergi, Aira tahu bahwa dia akan selalu ada dalam hatinya, sebagai pemandu dan sumber kekuatan di setiap langkah yang dia ambil.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Semoga cerita ini bikin kamu ikut merasakan setiap emosi dan rahasia yang Aira temukan dalam perjalanan mencari jawaban.Semoga cerita ini nggak hanya bikin kamu baper, tapi juga bikin kamu lebih menghargai setiap momen dan orang-orang terkasih di hidup kamu.

Jangan lupa untuk share dan kasih tahu teman-teman kamu kalau ada cerita yang bisa bikin mereka mikir dan merasa lebih dekat dengan orang yang mereka cintai. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply