Cerpen Pelangi Persahabatan di Dapur Gia

Posted on

Kisah ini bermula dari Rabu, 6 Desember di kota Kupang. Madoko sedang sibuk di tempat kerja yang baru ketika sebuah pesan masuk ke HP saya. Ternyata seorang temannya dari tempat kerja yang lama, bernama Frenky, mengundang  untuk makan siang di Dapur Gia.

Sambil membaca chat, Madoko merenung dalam hati, bagaimana teman-teman saya masih selalu mengingat saya walaupun kini saya sudah tidak satu tempat kerja lagi dengan mereka. Karena rasa penasaran, Madoko pun segera bergegas meninggalkan tempat kerja yang baru untuk bergabung dengan teman-teman di Dapur Gia.

Perjalanan yang ditempuh menuju Dapur Gia tidaklah mudah, hujan deras membuat jalanan tergenang air. Meskipun begitu, semangat tetap menjaga kemesraan dan kehangatan persahabatan membara. Tanpa disadari, perjalanan yang cukup berat tersebut seperti diiringi oleh langkah keceriaan yang menyelimuti hati.

Cuaca yang berkecamuk, hujan yang baru saja reda, dan kemacetan di jalanan tak menyurutkan semangat mereka. Langkah penuh keceriaan membawa Madoko ke pelukan Dapur Gia.

Beberapa waktu kemudian, tibalah Madoko di Dapur Gia, dan melihat teman-temannya; Pak Frenky, Ibu Nita, Ibu Inn, Ibu Yeane, Ibu Riny dan Ibu Agnes, yang sudah menunggu. Suasana kebersamaan yang dipenuhi canda dan tawa membuat hati Madoko hangat.

Tak disangka-sangka, Ibu Riny dan Ibu Yeane menghilang sejenak dan kembali membawa kue ulang tahun berlilin menyala, menunjukkan kehangatan hati mereka. Madoko terharu, bangga dan bahagia dengan kejutan ini, menunjukkan bahwa ikatan persahabatan melampaui batas ruang dan waktu.

Pak Frenky dengan Handpone nya yang mempunyai fitur kamera yang super bagus berkata, “Ayo kita abadikan momen ini, mari kita berfoto ria, biar jadi album kenangan indah”. Akhirnya kami semua tersenyum lebar dan berfoto ria.

Baca juga: Cerpen Persahabatan Yang Tak Tergantikan

Belum lama kemudian, hidangan Bakso Bazooka yang di pesan akhirnya tiba di meja kami. Sambil menikmati hidangan, kami dengan penuh semangat bercerita tentang persahabatan, pekerjaan dan bercanda tawa ria. Hujan yang turun pun seolah menjadi simbol merayakan kebersamaan kami.

Dalam kebersamaan tersebut, Madoko menyadari bahwa kebersamaan ini seperti pelangi yang muncul setelah hujan reda. Percakapan yang hangat, senyum-senyum kecil, dan tatapan penuh makna menciptakan momen yang tak terlupakan.

Dapur Gia menjadi saksi yang bisu dari cerita dan tawa yang kami bagikan bersama. Setiap suapan Bakso Bazooka seakan menyiratkan kenangan indah, mengikat kami dalam ikatan persahabatan yang kokoh.

Ibu Nita menambahkan, “Mungkin inilah yang disebut ikatan batin yang tak terlupakan. Meski berpencar, hati-hati kita tetap satu.”

Percakapan melaju seperti sungai yang tak henti mengalir. Kami saling berbagi impian, kesuksesan, dan tentu saja, kegagal-an. Hujan yang semakin deras seolah menjadi simbol penyucian, menghapuskan segala ego dan ketidaksempurnaan.

Cerita hidup Ibu Inn menggetarkan hati, menciptakan harmoni yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Waktu pun berlalu begitu cepat, dan suara tawa dan cerita kami mengisi ruangan Dapur Gia seperti soundtrack kehidupan kami.

Suasana makan siang yang semula riang gembira di Dapur Gia turut terusik dengan kedatangan seorang pria bertopi yang memegang selembar kertas dan terlihat begitu resmi. Dia langsung datang ke meja mereka dan bertanya dengan suara lantang, “Apakah seorang Madoko ada di sini?”

Madoko terkejut dan tidak percaya, dia tidak tahu siapa pria itu dan apa yang sebenarnya terjadi.

“Saya Madoko. Ada apa ini? Saya tidak mengerti,” kata Madoko, dengan suara ragu.

Pria itu memperlihatkan kertasnya pada Madoko dan kemudian menjelaskan bahwa dia adalah seorang kolektor hutang dan motor Madoko akan disita karena hutang yang belum dibayar sudah 6 bulan. Madoko terkejut dan tidak bisa mempercayai hal itu.

“Saya tidak memiliki hutang apa-apa. Saya merasa ini adalah sebuah kesalahan,” kata Madoko, berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang tenang.

Namun, pria itu bersikeras bahwa Madoko telah mengalami keterlambatan pembayaran dan bahwa motor harus disita sebagai jaminan. Hal ini membuat Madoko semakin panik dan berkata, “Saya tidak mengerti, saya tidak punya hutang apa-apa, ini pasti kesalahan!” Dia mulai berdebat dengan pria kolektor tersebut, namun pria itu tetap bersikeras bahwa Madoko telah terlambat membayar hutang. Pak Frenky mencoba menenangkan Madoko dan mencari tahu lebih lanjut tentang masalah ini.

“Saya merasa ini sedikit mencurigakan,” kata Pak Frenky dengan suara berat. “Bolehkah kami melihat bukti bahwa Madoko memiliki hutang?”

Pria kolektor hutang itu memberikan selembar kertas sebagai bukti, tetapi Pak Frenky mencurigai bahwa bukti tersebut palsu. “Mereka telah membuat kesalahan, mereka menemui orang yang salah,” kata Pak Frenky dengan hati-hati, tetapi tegas.

Madoko semakin panik dan memegang tangannya, “Tolong, tolong bantu saya… Saya benar-benar tidak punya hutang apa-apa! Apa yang akan saya lakukan jika motor saya diambil?”

Pak Frenky mengusap punggung Madoko dengan lembut, “Tenanglah, kita akan menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik.” Dia kemudian menatap tajam pada pria kolektor hutang itu.

“Kamu tidak bisa melakukan ini, kamu sudah menemui orang yang salah, jelas ada kesalahan di sini,” kata Pak Frenky dengan nada tegas. “Aku akan memberitahukan semua orang tentang praktikmu, itu tidak adil untuk mengganggu hidup orang lain dan membuat mereka panik.” Sambung Ibu Nita dengan nada mengancam.

Seketika, pria kolektor hutang tersebut terdiam dan mengerutkan kening. Dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku jaketnya dan melihat-lihat kertas tersebut dengan seksama. Tampaknya, dia menyadari kesalahannya.

Dia segera mencabut helmnya, tahu benar bahwa dia telah membuat kekeliruan dan tidak bisa lagi bertahan di tempat tersebut. Dia meninggalkan kertas tersebut dan berlari menjauh dari Dapur Gia tanpa berkata sepatah kata pun.

Saat pria tersebut pergi, terdengar hujan yang tiba-tiba turun deras, menyelimuti keheningan yang tersisa. Kami tertegun dan merasa terkejut dengan peristiwa yang tidak terduga ini.

Kejadian itu telah membuat Madoko merasa khawatir dan cemas, tetapi melalui bantuan Frenky yang bijaksana, mereka mampu menyelesaikan masalah itu dengan cara yang baik dan penuh pengertian. Dapur Gia bahkan telah menjadi saksi bisu dari konflik ini.

Madoko terlihat lega, tetapi membuat wajah bersedih dengan pikirannya. Kami semua menyadari betapa menegangkan situasi ini dan masih hidup dalam ketegangan yang dialaminya. Setelah beberapa waktu, suasana kembali damai dan kami semua meneruskan makan siang kami dengan lebih tenang.

Kami menyadari bahwa persahabatan kami telah membantu kami dalam menghadapi situasi yang sulit. Meskipun hujan turun, kami tetap merasa hangat dan merasakan kekuatan persaudaraan. Itulah kekuatan dari persahabatan yang terus menggelora, bahkan ketika situasi paling sulit sekalipun.

Hujan yang reda menandakan akhir dari pertemuan ini. Namun, kenangan yang terukir dalam setiap sudut hati kami akan terus hidup, seperti goresan pena yang tak bisa dihapus oleh waktu.

Sembari berjalan pulang dari Dapur Gia, langit masih kelam dan mendung, seakan mencerminkan perasaan kami atas momen indah tersebut yang harus berakhir.

“Terima kasih, bestieku semua. Terima kasih untuk hari ini,” kata Madoko dengan suara penuh cinta dan kehangatan.

“Kita memang harus menjaga persahabatan kita, seberat apapun beban yang harus kita pikul. Setiap detik yang kita habiskan bersama teman kita adalah keajaiban indah dalam hidup kita,” kata saya dengan suara bergetar.

Ibu Agnes kemudian tersenyum dan mengangguk, “Hari ini saya merasa sangat berarti. Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama teman-teman saya yang menyenangkan dan penuh makna. Saya berharap kita bisa melanjutkan momen-momen seperti ini.”

Kami semua sepakat dan bersama-sama mengulangi kesepakatan tersebut, sambil menarik nafas dalam-dalam dan menatap indahnya langit sore, mengagumi drama lampu dari jauh, seakan memberi tanda akan kekuatan dan keindahan persahabatan.

Sambil berjalan pulang, kami merasakan cahaya di hati yang terus menerangi langkah-langkah kami. Dalam momen tersebut, kami merasakan kehangatan persahabatan meskipun langit terus mendung. Selama cahaya ini tersedia, kita akan selalu terus mengukir kenangan indah di masa depan, bersama teman baik kita.

 

Penulis: Delfrid Bire Doko. BTN Blok R1 Nomor 8, RT 019 RW 006 Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT

Leave a Reply